PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG MENGATASNAMAKAN KEBENARAN


   












    Setelah Indonesia merdeka, terdapat berbagai macam pelanggaran hak asasi manusia dalam berbagai bentuk baik pelanggaran terhadap individu maupun terhadap kelompok tertentu.Pelanggaran tersebut identik dengan penghilangan nyawa perorangan maupun dalam jumlah massal.Dan hingga saat ini masih banyak pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang belum terungkap, hal itu menyebabkan munculnya banyak kritik baik dari masyarakat Indonesia sendiri maupun dari PBB.
   Sebagai dasar negara, hakekat Pancasila diuji saat terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.Unsur-unsur yang terdapat di dalamnya tercabik-cabik oleh tindakan anarkisme yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.Hal tersebut merupakan pukulan keras bagi Bangsa Indonesia di hadapan dunia.Kaitannya dengan Pancasila, pelanggaran hak asasi manusia merupakan negasi dari norma-norma yang terkandung di dalam Pancasila itu sendiri.
    Selain melanggar hukum, pelanggaran hak asasi manusia juga sangat merugikan banyak pihak, baik rugi dalam bentuk materi, korban jiwa maupun kerugian dalam bentuk psikologi dan moral.Sampai saat ini pelanggaran-pelanggaran tersebut belum dapat diusut secara optimal karena beberapa pelanggaran yang terjadi dilakukan oleh penguasa dan aparat negeri ini yang seharusnya dapat menciptakan perdamaian di Indonesia.Hal tersebut sangat disayangkan oleh keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia di negeri ini karena seharusnya pengusutan pelanggaran hukum tidak boleh pandang bulu.
   Untuk membahas pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia terlebih dahulu kita mengetahui arti dari hak asasi manusia itu sendiri.Pengertian hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir. Sedangkan menurut UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatannya, serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Untuk itu kita harus menghormati hak-hak orang lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
     Dari penjelasan di atas, pelanggaran dari hak asasi manusia merupakan hal yang menentang kandungan dari Pancasila.Sebagai contoh pelanggaran hak asasi manusia yang berkaitan dengan sila pertama adalah pelanggaran hak asasi manusia yang melibatkan dua agama yang berbeda yang terjadi di Ambon pada tahun 1999 yang memakan banyak korban jiwa.Pelanggaran tersebut sungguh bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa karena jika kita jabarkan arti dari sila pertama kita seharusnya saling menghormati antar umat beragama agar tercipta perdamaian.Dalam sila pertama dapat kita pahami keberadaan Tuhan dalam setiap agama dan di Indonesia terdapat berbagai agama, sehingga hal tersebut jangan sampai menimbulkan perpecahan di antara kita.
     Jika kita lihat dari sila kedua maka pelanggaran hak asasi manusia merupakan tindakan yang tidak bersifat kemanusiaan dan menentang keadilan di Indonesia.Dalam pelanggaran HAM sering terjadi tindakan penganiayaan, pengrusakan dan pembunuhan yang tidak sesuai dengan hakekat dari sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab.Hal itu pula yang menimbulkan banyak tuntutan untuk menyelesaikan dan mengungkap kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.
     Pelanggaran HAM juga bertentangan dengan sila ketiga dalam Pancasila yang menekankan pentingnya persatuan dari semua anggota masyarakat Indonesia.Kaitannya dengan sila ketiga, pelanggaran hak asasi manusia merupakan tindakan yang dapat memecah belah bangsa.Selain itu pelanggaran HAM juga menentang kandungan dari sila keempat pada Pancasila, karena pelanggaran yang terjadi tidak mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat melainkan lebih mengutamakan tindakan fisik.
      Tidak berbeda dengan sila kedua, sila kelima dalam Pancasila yang menegaskan adanya keadilan dalam menyelesaikan sebuah permasalahan juga menentang adanya pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.Dan keadilan yang dimaksud dalam sila kelima merupakan keadilan yang mencakup semua aspek kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.
      Di Indonesia sendiri telah terjadi berbagai macam pelanggaran hak asasi manusia, diantaranya adalah pembantaian massal pada tahun 1965 yang dilakukan terhadap anggota PKI dan ormas yang dianggap berafiliasi dengannya, kasus di Timor Timur pra Referendum, kasus Marsinah pada masa Orde Baru, peristiwa Talangsari di Lampung, kasus penembakan mahasiswa Trisakti pada tahun 1998, penculikan dan penghilangan terhadap aktivis pro demokrasi pada tahun 1998 dan masih banyak pelanggaran hak asasi manusia lainnya.
    Begitu banyaknya pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia dan sebagian besar dari kasus tersebut tidak dapat diungkap oleh aparat penegak hukum, walaupun sebagian kasus sudah didesak untuk diselesaikan oleh keluarga korban yang merasa kehilangan atas korban pelangggaran hak asasi manusia tersebut. Mereka menuntut agar pelaku pelanggaran tersebut dapat menerima sanksi yang setimpal atas apa yang telah diperbuat. Namun ada juga kasus yang sudah tersentuh tangan hukum negeri ini tetapi tidak diselesaikan dengan baik, bahkan pelaku yang mendapat proses hukum bukanlah otak dari peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi.
 

    Beberapa pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia merupakan perbuatan pemimpin dan aparat negeri ini dengan alasan untuk menegakkan kebenaran. Seperti yang pembantaian terhadap anggota PKI dan ormas yang dianggap berafiliasi dengannya yang dilakukan oleh aparat negara kala itu dengan alasan memberantas paham komunis di Indonesia. Sebenarnya tindakan tersebut merupakan pelanggaran HAM berat karena menghabisi nyawa manusia dalam jumlah massal tanpa adanya proses hukum terlebih dahulu. Hal tersebut dengan jelas menentang Pancasila, karena dalam Pancasila tidak dibenarkan untuk menghabisi nyawa individu atau sekelompok orang tanpa adanya proses hukum yang jelas.
    Dari peristiwa yang telah ditulis di atas dapat kita sadari bahwa Pancasila merupakan landasan negara yang dapat kita gunakan untuk melawan pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk apapun.Dan ini merupakan jawaban dari rumusan masalah yang pertama.Kandungan dari setiap sila dari Pancasila dengan tegas menentang setiap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh siapaun termasuk oleh pemimpin dan aparat negeri ini. Kaitannya dengan hal ini adalah Indonesia harus tegas menindak aparat atau pemimpin pemerintahan baik yang menjabat di masa sekarang atau masa lalu yang dengan sengaja melakukan pelanggaran HAM.Hal ini juga berkaitan dengan doktrin tentang hak-hak asasi manusia yang diterima secara universal sebagai ‘a moral, political, legal framework and as aguideline’ dalam membangun dunia yang lebih damai dan bebas dari ketakutan dan penindasan serta perlakuan yang tidak adil. Rumusan Pancasila yang menentang adanya pelanggaran HAM juga ada dalam Declaration of Human Right 1948 yang dilakukan oleh PBB. Deklarasi sedunia tentang hak-hak asasi manusia tersebut menjelaskan bahwa bangsa-bangsa sedunia melalui wakil-wakilnya memberikan pengakuan dan perlindungan secara yuridis formal walaupun realisasinya juga disesuaikandengan kondisi serta  peraturan perundangan yang berlaku dalam setiap negara di dunia ini.Di Indonesia sendiri landasan yang berkaitan dengan penjelasan di atas adalah Pancasila dan UUD 1945.
    Namun demikian dikukuhkannya naskah Universal Declaration of Human Right ini, ternyata tidak cukup mampu untuk mencabut akar-akar penindasan di berbagai negara termasuk di Indonesia.Oleh karena itu PBB secara terus-menerus berupaya untuk memperjuangkannya.Akhirnya setelah kurang lebih 18 tahun kemudian, PBB berhasil juga melahirkan Convenant on Economic, Social and Cultral (Perjanjian tentang ekonomi, social dan budaya) dan Convenant on Civil and Political Rights (Perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik) (Asshiddiqie, 2006: 92).
    Melihat kembali sejarah kelam pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang dilakukan pemimpin dan aparat pemerintahan pada masa itu dapat kita ketahui bahwa pelaku dengan jelas mengetahui adanya Pancasila, UUD 1945 dan Declaration of Human Right namun mereka dengan sengaja memutar balikkan hukum yang ada demi kepentingan pihak atau golongan yang dianut dengan mengatasnamakan kebenaran yang harus ditegakkan atas nama hukum negeri ini.
    Peranan  Pancasila dalam hal ini sangatlah besar karena kandungannya telah mengatur hak-hak dan kewajiban warga negara yang telah ditentukan juga dalam UUD 1945 dan tidak dapat dilanggar.Sebagai contoh dalam masa Orde Baru ada salah satu pelanggaran HAM yang ironis yaitu pembunuhan berencana terhadap pelopor yang menuntut dipenuhinya hak-hak buruh di Indonesia, yang sekarang kita kenal dengan kasus Marsinah. Pelaku utama dari kasus tersebut tidak tersentuh hukum, sementara orang lain menjadi kambing hitam, dan hal tersebut merupakan bukti represi militer di bidang pembunuhan yang membenarkan tindakannya dan tidak ambil pusing terhadap permasalahan rakyat Indonesia.
    Ada juga kasus penculikan dan pembunuhan terhadap aktivis pro demokrasi oleh aparat negeri ini, hal tersebut dilakukan dengan alasan untuk menjaga kedaulatan dan kepemimpinan pemerintahan saat itu dengan kata lain aparat negara dengan sengaja melakukan pelanggaran hak asasi manusia dengan mengatasnamakan kebenaran menurut pemerintahan yang berkuasa saat itu. Selain melanggar Pancasila, pelanggaran HAM di atas juga melanggar UUD 1945, khususnya Pasal 28 A yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
    Dalam realisasi kehidupan, Pancasila memang berperan dalam menekan tindakan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia karena unsur-unsur yang terkandung dalam Pancasila selalu mengajarkan kita tentang bagaimana cara menghormati hak-hak sesama manusia yang sebenarnya tidak dapat dipisahkan dengan pandangan filosofis tentang hakekat manusia yang melatarbelakanginya. Menurut pandangan filsafat bangsa Indonesia yang terkandung dalam Pancasila hakikat manusia adalah ‘monopuralis’.Susunan kodrat manusia adalah jasmani dan rohani, atau jiwa dan raga, sifat kodrat manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial, serta kedudukan kodrat manusia adalah sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
   Dalam rentangan berdirinya bangsa dan negara Indonesia, secara resmi Deklarasi Pembukaan dan pasal-pasal UUD telah lebih dahulu merumuskan hak-hak asasi manusia dari pada Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia PBB.Fakta sejarah menunjukkan bahwa Pembukaan UUD 1945 beserta pasal-pasalnya disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, sedangkan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia PBB pada tahun 1948.Hal ini menunjukkan kepada dunia bahwa sebenarnya bangsa Indonesia sebelum tercapainya pernyataan hak-hak asasi manusia beserta convenantnya, telah mengangkat hak-hak asasi manusia dan melindunginya dalam kehidupan negara, yang tertuang dalam UUD 1945.Hal ini juga telah ditekankan oleh The Founding Fathers bangsa Indonesia, misalnya pernyataan Moh. Hatta dalam sidang BPUPKI yang berbunyi “Walaupun yang dibentuk itu negara kekeluargaan, tetapi masih perlu ditetapkannya beberapa hak dari warga negara, agar jangan sampai timbul negara kekuasaan atau ‘Machtsstaat’, atau negara penindas (Yamin, 1959: 207)”.
    Deklarasi bangsa Indonesia pada prinsipnya terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, dan Pembukaan inilah yang merupakan sumber normative bagi hukum positif Indonesia terutama penjabarannya dalam pasal-pasal UUD 1945. Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea I dinyatakan bahwa : “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa”. Dalam pernyataan ini terkandung pengakuan secara yuridis hak-hak asasi manusia tentang kemerdekaan sebagaimana terkandung dalam Deklarasi PBB pasal I. Dasar filosofis hak asasi manusia tersebut adalah bukan kemerdekaan manusia secara individualis saja, melainkan menempatkan manusia sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial yaitu sebagai suatu bangsa. Oleh karena itu, hak asasi ini tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban asasi manusia.
    Pada dasarnya penanganan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia sudah sesuai dengan aturan yang tertera di dalam Pancasila dan UUD 1945, namun belum optimal dan masih terdapat unsur politik dalam penanganan kasusnya.Hal tersebut dikarenakan pelaku dari pelanggaran hak asasi manusia itu adalah aparatur negara dan mereka mendapat perintah dari penguasa pemerintahan saat itu. Hal ini sungguh mencoret nama baik penegak hukum di negeri ini. Kita sebagai pemuda yang akan mewarisi negeri ini akan diuji apakah di masa yang akan datang kita dapat menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan norma yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 atau kita hanya akan menjadi orang yang acuh terhadap maslah tersebut. Seluruh rakyat Indonesia seharusnya mendukung penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran HAM di negeri ini.
Contoh kasus pelanggaran HAM di Indonesia :
1. PELANGGARAN HAM OLEH TNI

    Umumnya terjadi pada masa pemerintahan Presiden Suharto, dimana (dikemudian hari berubah menjadi TNI dan Polri) menjadi alat untuk menopang kekuasaan. Pelanggaran HAM oleh TNI mencapai puncaknya pada akhir masa pemerintahan Orde Baru, dimana perlawanan rakyat semakin keras.

2. KASUS PELANGGARAN HAM YANG TERJADI DI MALUKU

     Konflik dan kekerasan yang terjadi di Kepulauan Maluku sekarang telah berusia 2 tahun 5 bulan; untuk Maluku Utara 80% relatif aman, Maluku Tenggara 100% aman dan relatif stabil, sementara di kawasan Maluku Tengah (Pulau Ambon, Saparua, Haruku, Seram dan Buru) sampai saat ini masih belum aman dan khusus untuk Kota Ambon sangat sulit diprediksikan, beberapa waktu yang lalu sempat tenang tetapi sekitar 1 bulan yang lalu sampai sekarang telah terjadi aksi kekerasan lagi dengan modus yang baru ala ninja/penyusup yang melakukan operasinya di daerah – daerah perbatasan kawasan Islam dan Kristen (ada indikasi tentara dan masyarakat biasa).

    Penyusup masuk ke wilayah perbatasan dan melakukan pembunuhan serta pembakaran rumah. Saat ini masyarakat telah membuat sistem pengamanan swadaya untuk wilayah pemukimannya dengan membuat barikade-barikade dan membuat aturan orang dapat masuk/keluar dibatasi sampai jam 20.00, suasana kota sampai saat ini masih tegang, juga masih terdengar suara tembakan atau bom di sekitar kota. Akibat konflik/kekerasan ini tercatat 8000 orang tewas, sekitar 4000 orang luka – luka, ribuan rumah, perkantoran dan pasar dibakar, ratusan sekolah hancur serta terdapat 692.000 jiwa sebagai korban konflik yang sekarang telah menjadi pengungsi di dalam/luar Maluku.

    Masyarakat kini semakin tidak percaya dengan dengan upaya – upaya penyelesaian konflik yang dilakukan karena ketidak-seriusan dan tidak konsistennya pemerintah dalam upaya penyelesaian konflik, ada ketakutan di masyarakat akan diberlakukannya Daerah Operasi Militer di Ambon dan juga ada pemahaman bahwa umat Islam dan Kristen akan saling menyerang bila Darurat Sipil dicabut.
    Banyak orang sudah putus asa, bingung dan trauma terhadap situasi dan kondisi yang terjadi di Ambon ditambah dengan ketidak-jelasan proses penyelesaian konflik serta ketegangan yang terjadi saat ini. Komunikasi sosial masyarakat tidak jalan dengan baik, sehingga perasaan saling curiga antar kawasan terus ada dan selalu bisa dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang menginginkan konmflik jalan terus. Perkembangan situasi dan kondisis yang terakhir tidak ada pihak yang menjelaskan kepada masyarakat tentang apa yang terjadi sehingga masyrakat mencari jawaban sendiri dan membuat antisipasi sendiri.

    Wilayah pemukiman di Kota Ambon sudah terbagi 2 (Islam dan Kristen), masyarakat dalam melakukan aktifitasnya selalu dilakukan dilakukan dalam kawasannya hal ini terlihat pada aktifitas ekonomi seperti pasar sekarang dikenal dengan sebutan pasar kaget yaitu pasar yang muncul mendadak di suatu daerah yang dulunya bukan pasar hal ini sangat dipengaruhi oleh kebutuhan riil masyarakat; transportasi menggunakan jalur laut tetapi sekarang sering terjadi penembakan yang mengakibatkan korban luka dan tewas; serta jalur – jalur distribusi barang ini biasa dilakukan diperbatasan antara supir Islam dan Kristen tetapi sejak 1 bulan lalu sekarang tidak lagi juga sekarang sudah ada penguasa – penguasa ekonomi baru pasca konflik.

    Pendidikan sangat sulit didapat oleh anak – anak korban langsung/tidak langsung dari konflik karena banyak diantara mereka sudah sulit untuk mengakses sekolah, masih dalam keadaan trauma, program Pendidikan Alternatif Maluku sangat tidak membantu proses perbaikan mental anak malah menimbulkan masalah baru di tingkat anak (beban belajar bertambah) selain itu masyarakat membuat penilaian negatif terhadap aktifitas NGO (PAM dilakukan oleh NGO).

   
   Masyarakat Maluku sangat sulit mengakses pelayanan kesehatan, dokter dan obat – obatan tidak dapat mencukupi kebutuhan masyarakat dan harus diperoleh dengan harga yang mahal; puskesmas yang ada banyak yang tidak berfungsi. Belum ada media informasi yang dianggap independent oleh kedua pihak, yang diberitakan oleh media cetak masih dominan berita untuk kepentingan kawasannya (sesuai lokasi media), ada media yang selama ini melakukan banyak provokasi tidak pernah ditindak oleh Penguasa Darurat Sipil Daerah (radio yang selama ini digunakan oleh Laskar Jihad (radio SPMM/Suara Pembaruan Muslim Maluku).

3. PELANGGARAN HAM ATAS NAMA AGAMA

     Kita memiliki banyak sejarah gelap agamawi, entah itu dari kalangan gereja Protestan maupun gereja Katolik, entah dari aliran lainnya. Bahwa kadang justru dengan simbol agamawi, kita melupakan kasih, yaitu kasih yang menjadi ‘atribut’ Tuhan kita Yesus Kristus. Hal-hal ini dicatat dalam buku sejarah dan beberapa kali kisah-kisah tentang kekejaman gereja difilmkan. Salah satu contohnya dalam film The Scarlet Letter, film tentang hyprocricy Gereja Potestan yang ‘menghakimi’ seorang pezinah dan kelompok-kelompok yang dianggap bidat, adalagi filmThe Magdalene Sisters, juga film A Song for A Raggy Boy, The Headman, “The Name of the Rose” , dan masih banyak lainnya. Kini, telah hadir film yang lumayan baru, yang diproduksi oleh Saul Zaentz dan disutradarai oleh Milos Forman, dua nama ini cukup memberi jaminan bahwa film yang dibuat mereka selalu bagus yaitu film GOYA’s GOST.

    Mungkin saja film GOYA’s GOST ini akan membuat ‘marah’ sebagian kelompok, namun apa yang dikemukakan oleh Zaentz dan Forman, sebagaimana kekejaman “Inkuisisi” telah tercatat dalam sejarah hitam Gereja. Kisah-kisah kekejamannya juga terekam dalam lukisan-lukisan karya Seniman Spanyol Francisco Goya (1746–1828 ), yang menjadi tokoh sentral dari film GOYA’s GOST ini.

    Kita telah mengenal banyak sekelompok manusia dengan atribut agama, berlindung dalam lembaga agama, mereka justru melakukan kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity) entah itu Kristen, Islam atau agama apapun. Atas nama ‘agama yang suci’ mereka melakukan ‘pelecehan yang tidak suci’ kepada sesamanya manusia. Akhir abad 20 atau awal abad 21, akhir-akhir ini kita disuguhi sajian-sajian berita akan kebobrokan manusia yang beragama melanggar hak asasi manusia, misalnya kelompok Al-Qaeda dan sejenisnya menteror dengan bom, dan olehnya mungkin sebagian dari kita telah prejudice menempatkan orang-orang Muslim di sekitar kita sama jahatnya dengan kelompok ‘Al-Qaeda’. Di sisi lain Amerika Serikat (AS) sebagai ‘polisi dunia’ sering memakai ‘isu terorisme yang dilakukan Al-Qaeda’ untuk melancarkan macam-macam agendanya. Invasi AS ke Iraq, penyerangan ke Afganistan dan negara-negara lain yang disinyalir ‘ada terorisnya’. Namun kehadiran pasukan AS dan sekutunya di Iraq tidak berdampak baik, mungkin pada awalnya terlihat AS dengan sejatanya yang super-canggih menguasai Iraq dalam sekejap, namun pasukan mereka babak-belur dalam ‘perang-kota’, ini mengingatkan kembali sejarah buruk, dimana mereka juga kalah dalam perang gerilya di Vietnam. Kegagalan pasukan AS mendapat kecaman dari dalam negeri, bahkan sekutunya, Inggris misalnya. Tekanan-tekanan ini membuat PM Inggris Tony Blair memilih mengakhiri karirnya sebelum waktunya baru-baru ini. Karena ia berada dalam posisi yang sulit : menuruti tuntutan dalam negeri ataukah menuruti tuan Bush.
    Memang kita akui banyak kebrutalan yang dilakukan oleh para teroris kalangan Islam Fundamentalis, contoh Bom Bali dan sejenisnya di seluruh dunia. Tapi tidak menutup kemungkinan Presiden Amerika Serikat, George Bush adalah juga seorang ‘Fundamenalis’ dalam ‘Agama’ yang dianutnya, karena gaya Bush yang sering ‘secara implisit’ terbaca dimana ia menempakan dirinya sebagai penganut Kristiani yang memerangi terorisme dari para teroris Muslim Fundamentalis. Tentu saja apa-apa yang mengandung “fundamentalis” entah itu Islam/ Kristen/ agama yang lain, bermakna tidak baik.
    Sebelumnya, ditengah-tengah ‘isu anti terorisme (Islam)’, sutradara Inggris, Ridley Scott memproduksi film The Kingdom of Heaven, barangkali bisa juga digunakan untuk menyindir Presiden Bush yang sering menggunakan kata“crusades” dalam pidatonya. Film The Kingdom of Heaven adalah sebuah ‘otokritik’ bagi Kekristenan, dan sajian ‘ironisme’ dari ajaran Kristus yang penuh kasih. Bahwa perang Salib yang telah terjadi selama 4 abad itu bukanlah suatu kesaksian yang baik, tetapi lebih merupakan sejarah hitam.

4. PELANGGARAN HAM OLEH MANTAN GUBERNUR TIM-TIM

    Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timtim, yang diadili oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc di Jakarta atas dakwaan pelanggaran HAM berat di Timtim dan dijatuhi vonis 3 tahun penjara. Sebuah keputusan majelis hakim yang bukan saja meragukan tetapi juga menimbulkan tanda tanya besar apakah vonis hakim tersebut benar-benar berdasarkan rasa keadilan atau hanya sebuah pengadilan untuk mengamankan suatu keputusan politik yang dibuat Pemerintah Indonesia waktu itu dengan mencari kambing hitam atau tumbal politik. Beberapa hal yang dapat disimak dari keputusan pengadilan tersebut adalah sebagai berikut ini.

    Pertama, vonis hakim terhadap terdakwa Abilio sangat meragukan karena dalam Undang-Undang (UU) No 26/2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 37 (untuk dakwaan primer) disebutkan bahwa pelaku pelanggaran berat HAM hukuman minimalnya adalah 10 tahun sedangkan menurut pasal 40 (dakwaan subsider) hukuman minimalnya juga 10 tahun, sama dengan tuntutan jaksa. Padahal Majelis Hakim yang diketuai Marni Emmy Mustafa menjatuhkan vonis 3 tahun penjara dengan denda Rp 5.000 kepada terdakwa Abilio Soares.


    Bagi orang yang awam dalam bidang hukum, dapat diartikan bahwa hakim ragu-ragu dalam mengeluarkan keputusannya. Sebab alternatifnya adalah apabila terdakwa terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM berat hukumannya minimal 10 tahun dan apabila terdakwa tidak terbukti bersalah ia dibebaskan dari segala tuduhan.
Kedua, publik dapat merasakan suatu perlakuan “diskriminatif” dengan keputusan terhadap terdakwa Abilio tersebut karena terdakwa lain dalam kasus pelanggaran HAM berat Timtim dari anggota TNI dan Polri divonis bebas oleh hakim. Komentar atas itu justru datang dari Jose Ramos Horta, yang mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kemungkinan hanya rakyat Timor Timur yang akan dihukum di Indonesia yang mendukung berbagai aksi kekerasan selama jajak pendapat tahun 1999 dan yang mengakibatkan sekitar 1.000 tewas.

5. Kontroversi G30S

     Di antara kasus-kasus pelanggaran berat HAM, perkara seputar peristiwa G30S bagi KKR bakal menjadi kasus kontroversial. Dilema bisa muncul dengan terlibatnya KKR untuk memangani kasus pembersihan para aktivis PKI. Peneliti LIPI Asvi Marwan Adam melihat, kalau pembantaian sebelum 1 Oktober 1965 yang memakan banyak korban dari pihak Islam, karena pelakunya sama-sama sipil, lebih mudah rekonsiliasi. Persoalan muncul ketika KKR mencoba menyesaikan pembantaian yang terjadi pasca G30S. Asvi menjelaskan, begitu Soeharto pada 1 Oktober 1965 berhasil menguasai keadaan, sore harinya keluar pengumuman Peperalda Jaya yang melarang semua surat kabar terbit –kecuali Angkatan Bersenjata (AB) dan Berita Yudha. Dengan begitu, seluruh informasi dikuasai tentara.

     Berita yang terbit oleh kedua koran itu kemudian direkayasa untuk mengkambinghitamkan PKI sebagai dalang G30S yang didukung Gerwani sebagai simbol kebejatan moral. Informasi itu kemudian diserap oleh koran-koran lain yang baru boleh terbit 6 Oktober 1965. Percobaan kudeta 1 Oktober, kemudian diikuti pembantaian massal di Indonesia. Banyak sumber yang memberitakan perihal jumlah korban pembantaian pada 1965/1966 itu tidak mudah diketahui secara persis. Dari 39 artikel yang dikumpulkan Robert Cribb (1990:12) jumlah korban berkisar antara 78.000 sampai dua juta jiwa, atau rata-rata 432.590 orang.

    Cribb mengatakan, pembantaian itu dilakukan dengan cara sederhana. ”Mereka menggunakan alat pisau atau golok,” urai Cribb. Tidak ada kamar gas seperti Nazi. Orang yang dieksekusi juga tidak dibawa ke tempat jauh sebelum dibantai. Biasanya mereka terbunuh di dekat rumahnya. Ciri lain, menurutnya, ”Kejadian itu biasanya malam.” Proses pembunuhan berlangsung cepat, hanya beberapa bulan. Nazi memerlukan waktu bertahun-tahun dan Khmer Merah melakukannya dalam tempo empat tahun.

    Cribb menambahkan, ada empat faktor yang menyulut pembantaian masal itu. Pertama, budaya amuk massa, sebagai unsur penopang kekerasan. Kedua, konflik antara golongan komunis dengan para pemuka agama islam yang sudah berlangsung sejak 1960-an. Ketiga, militer yang diduga berperan dalam menggerakkan massa. Keempat, faktor provokasi media yang menyebabkan masyarakat geram.

    Peran media militer, koran AB dan Berita Yudha, juga sangat krusial. Media inilah yang semula menyebarkan berita sadis tentang Gerwani yang menyilet kemaluan para Jenderal. Padahal, menurut Cribb, berdasarkan visum, seperti diungkap Ben Anderson (1987) para jenazah itu hanya mengalami luka tembak dan memar terkena popor senjata atau terbentur dinding tembok sumur. Berita tentang kekejaman Gerwani itu memicu kemarahan massa. Oleh karena itu, Asvi mengingatkan bahwa peristiwa pembunuhan massal pada 1965/66 perlu dipisahkan antara konflik antar masyarakat dengan kejahatan yang dilakukan oleh negara. Pertikaian antar masyarakat, meski memakan banyak korban bisa diselesaikan. Yang lebih parah adalah kejahatan yang dilakukan negara terhadap masyarakat, menyangkut dugaan keterlibatan militer (terutama di Jawa Tengah) dalam berbagai bentuk penyiksaan dan pembunuhan.

    Menurut Cribb, dalam banyak kasus, pembunuhan baru dimulai setelah datangnya kesatuan elit militer di tempat kejadian yang memerintahkan tindakan kekerasan. ”Atau militer setidaknya memberi contoh,” ujarnya. Ini perlu diusut. Keterlibatan militer ini, masih kata Cribb, untuk menciptakan kerumitan permasalahan. Semakin banyak tangan yang berlumuran darah dalam penghancuran komunisme, semakin banyak tangan yang akan menentang kebangkitan kembali PKI dan dengan demikian tidak ada yang bisa dituduh sebagai sponsor pembantaian.

    Sebuah sarasehan Generasi Muda Indonesia yang diselenggarakan di Univesitas Leuwen Belgia 23 September 2000 dengan tema ”Mawas Diri Peristiwa 1965: Sebuah Tinjauan Ulang Sejarah”, secara tegas menyimpulkan agar dalam memandang peristiwa G30S harus dibedakan antara peristiwa 1 Oktober dan sesudahnya, yaitu berupa pembantaian massal yang dikatakan tiada taranya dalam sejarah modern Indonesia, bahkan mungkin dunia, sampai hari ini. Peristiwa inilah merupakan kenyataan gamblang yang pernah disaksikan banyak orang dan masih menjadi memoar kolektif sebagian mereka yang masih hidup.



2 komentar:

{ Unknown } at: 2 Januari 2014 pukul 09.25 mengatakan...

saya mahasiswa dari jurusan keperawatan,
di sini yang melanggar HAM dalam pelayanan keperawatan kok gag ada ya !!!!!!

{ Unknown } at: 8 Oktober 2016 pukul 18.28 mengatakan...


Bergabung dengan besar Persaudaraan Illuminati, menjadi Anggota dan menjadi besar di Life, Kaya, Fame, Perlindungan, Promosi dan kekuasaan Memiliki. inbox saya untuk penyelidikan lebih. Manfaat yang diberikan kepada anggota yang bergabung menerangi email kami di {illuminatechurch190.org@gmail.com}

Posting Komentar

 

AMORE NEW © 2011 Design by Best Blogger Templates | Sponsored by HD Wallpapers